Subscribe Us

header ads

Teori Disonansi Kognitif


Ust. Arafat

Jika seseorang merasa sesuatu yang mengganjal atau tidak nyaman dalam perasaannya, maka orang itu akan mengambil langkah yang cocok menurut perasaannya itu demi meredakan apa yang mengganjal dirinya sendiri.

Inilah definisi yang mudah dari teori disonansi kognitif dalam ilmu psikologi. Misalnya begini, jika kita berprasangka sesuatu kepada orang lain maka kita akan mencari bukti-bukti berita yang menguatkan prasangka kita dan mengabaikan semua berita yang tidak cocok dengan prasangka kita.

Misalnya seorang penggemar artis Korea, maka semua kabar yang menyenangkan akan cepat ia percaya, dan sebaliknya kabar yang tidak baik segera saja ia sangkal dan menganggap itu hanya gosip. Padahal faktanya bagaimana ia sendiri tidak tahu.

Atau seorang menantu yang merasa diperlakukan semena-mena oleh mertuanya, semakin hari ia hanya akan fokus pada keburukan mertuanya untuk membenarkan prasangkanya sendiri bahwa mertuanya memang tidak suka kepadanya.

Demikianlah kesimpulan teori disonansi kognitif. Oleh karena itu, hati-hati dengan apa yang kita lihat. Karena otak kita hanya memberi persetujuan kepada berita yang kita inginkan dan secara alami menolak apa yang tidak sesuai dengan prasangka kita.

Al-Quran telah memberi contoh dari sikap saudara-saudara Nabi Yusuf kepada ayah mereka. Bayangkan, bahwa ayah mereka adalah seorang Nabi, namun di mata mereka tetap saja figur ayah adalah sosok yang tidak adil.

إِذْ قَالُوا لَيُوسُفُ وَأَخُوهُ أَحَبُّ إِلَىٰ أَبِينَا مِنَّا وَنَحْنُ عُصْبَةٌ إِنَّ أَبَانَا لَفِي ضَلَالٍ مُبِينٍ
(Yaitu) ketika mereka berkata, "Sesungguhnya Yusuf dan saudara kandungnya lebih dicintai oleh ayah kita dari pada kita sendiri, padahal kita (ini) adalah satu golongan (yang kuat). Sesungguhnya ayah kita adalah dalam kekeliruan yang nyata."(Surat Yusuf: 8)

Tentu tidak mungkin seorang Nabi Yaqub berlaku tidak adil kepada anak-anaknya. Berarti yang terjadi adalah anak-anak itu sendiri yang hanya mencari-cari pembenaran dari kesimpulan mereka dan mengabaikan sesuatu yang terlihat jelas di depan mata.

Jadi apa yang dapat kita simpulkan? Hati-hati dengan prasangka. Karena akan menyebabkan kita tidak bisa melihat lagi kebenaran. Bersikaplah disiplin agar tidak memikirkan hal-hal yang tidak penting dari orang lain.

Puasa bukan hanya tentang disiplin perut dan disiplin lisan, tetapi juga tentang disiplin pikiran.

Sumber

Posting Komentar

0 Komentar